Steinway & Sons
Indonesia
Indonesia
SAAT ARTHUR RUBINSTEIN MENGGELAR KONSER DI KEDIRI DAN JEMBER

ditulis oleh: Aditya Setiadi, Musikolog

Sejarah mencatat bahwa pementasan musik klasik Eropa di Nusantara mencapai puncaknya di awal abad kedua puluh saat perkembangan teknologi, komunikasi, dan transportasi memudahkan para musisi besar Eropa mengunjungi Hindia Belanda. Berbagai asosiasi seni dan musik tumbuh di berbagai kota di Hindia Belanda, meskipun tidak ada yang dapat mengalahkan sepak terjang Kunstkring (Lingkar Seni) sebagai organisasi terprogresif yang berani mendatangkan para pesohor seni, musik, dan tari yang sedang digandrungi di Eropa pada masanya. Dari sekian banyak tokoh musik Eropa yang mereka undang, salah satunya adalah Arthur Rubinstein– pianis kelahiran Polandia yang kemudian dinobatkan sebagai salah satu raksasa besar dunia musik klasik. Sepanjang delapan dekade rentang kariernya, dunia internasional menganggap Rubinstein sebagai salah satu penafsir terbaik karya-karya piano Chopin. Publik kerap menyandingkan namanya dengan Vladimir Horowitz sebagai rival, sama halnya seperti Maria Callas versus Renata Tebaldi dalam dunia opera. Kini nama besar Rubinstein menjelma menjadi legenda dunia piano; ratusan rekaman permainan pianonya selalu menjadi rujukan para pianis. Namun demikian, tidak banyak yang tahu bahwa sang legenda piano tersebut pernah menggelar konser di Nusantara.

Mengutip Rubinstein: A Life, biografi sang pianis yang disusun oleh Harvey Sachs, Rubinstein dan istrinya, Nela, melakukan tur dunia ke beberapa negara di Asia pada pertengahan tahun 1935. Salah satu negara tujuannya adalah Hindia Belanda, memenuhi undangan dari Kunstkring yang telah merancang sekitar dua puluh resital piano tunggal di pulau Jawa dan Sumatra. Sayangnya, biografi tersebut tidak mencatat secara detail lawatan mereka ke Hindia Belanda; hanya mencantumkan bahwa seusai tur mereka sempat berlibur ke Bali selama tiga hari sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Filipina melalui Hong Kong. Namun demikian, rekam jejak penampilan Rubinstein dapat dicermati melalui berbagai ulasan konser pada belasan surat kabar kolonial Hindia Belanda yang kini dapat diakses oleh para peneliti dan sejarawan.

Rubinstein Berkunjung ke Hindia Belanda

Dalam lawatannya Hindia Belanda, beberapa surat kabar mencatat bahwa Rubinstein tiba di Batavia tanggal 27 Mei 1935 dengan pesawat Qantas dari Singapura. Sang maestro dijadwalkan akan mempergelarkan serangkaian resital piano di beberapa kota di pulau Jawa dan Sumatra, yaitu dua penampilan di Batavia, serta masing-masing satu penampilan di Bandung, Surabaya, Malang, Jember, dan Kediri. Seluruh pertunjukan disponsori oleh Kunstkring dan ditampilkan di auditorium konser mereka yang tersebar di hampir tiap cabang kota di Hindia Belanda; kecuali pertunjukan di Malang yang secara khusus disponsori oleh Vereeniging Kunst en Wetenschap (Asosiasi Seni dan Sains) serta dua pertunjukan di Batavia yang dipergelarkan di Stadsschouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Rangkaian resital Rubinstein selama berada di pulau Jawa berlangsung dalam rentang waktu 28 Mei hingga 15 Juni 1935. Namun disayangkan, di tengah perjalanan Rubinstein membatalkan jadwal resitalnya di Medan. Kunstkring kota Deli, melalui surat kabar De Sumatra Post, menyatakan kekecewaan mereka terhadap pembatalan tersebut sekaligus menginfokan bahwa Rubinstein hanya akan tampil di Jawa dan setelahnya akan segera melanjutkan turnya di Manila.

Selama turnya di beberapa kota pulau Jawa, Rubinstein memperoleh sambutan yang sangat positif, baik dari kritikus musik maupun penonton. Pada penampilannya di Kediri, surat kabar De Indische Courant mencatat bahwa auditorium dipenuhi sesak oleh para penonton yang antusias berdatangan dari jauh, seperti Madiun, Pare, dan kabupaten sekitar. Pada resitalnya di Malang, salah satu kritikus dari surat kabar yang sama mencatat bahwa daya artistik Rubinstein yang sedemikian tinggi memberinya semacam privilese untuk membubuhkan ‘subjektivitas pribadi’ dalam tiap interpretasi karya yang ia mainkan, seperti pada Sonata Opus 57 “Appassionata” karya Beethoven yang seolah ‘ia lahirkan kembali’ dan Barcarolle karya Chopin yang dimainkan dengan tempo di atas rata-rata– tidak ada seorang pun yang berani mengritik. Di Jember, virtuositas permainannya dijunjung tinggi, dianggap ‘melebihi ekspektasi terliar umat manusia.’ Sementara itu, ulasan permainannya di Batavia menunjukkan bahwa selain menampilkan repertoar standar seperti Bach, Beethoven, Brahms, Chopin, Liszt, Albeniz, dan Scriabin, ia mengangkat pula beberapa nomor karya ‘modern’ (bagi telinga penonton Hindia Belanda tahun 1935) seperti “March” dari The Love for Three Oranges karya Prokofiev serta “Three Movements” dari Petrushka yang secara khusus memang didedikasikan oleh Stravinsky bagi sang pianis.

Belajar dari Sejarah

Kunjungan Rubinstein ke Hindia Belanda membuahkan tiga hal yang dapat disarikan bagi para pegiat musik klasik Indonesia saat ini. Pertama, Kunstkring– sebagai lembaga yang mewadahi para penikmat seni dan musik– membuktikan bahwa kehadiran organisasi yang sistematik dan terintegrasi merupakan sokoguru utama bagi keberlanjutan ekosistem seni pertunjukan. Kedua, kebaruan (novelty) dalam penyusunan program resital menghembuskan angin segar di tengah kelembaman replikasi repertoar resital piano yang cenderung terpaku pada kanon para komposer Eropa Barat era Barok, Klasik, dan Romantik. Cuplikan The Love for Three Oranges dan Petrushka– keduanya selesai digubah tahun 1921– belum genap berusia 15 tahun saat diperdengarkan di Hindia Belanda sehingga saat itu masih tergolong sebagai musik kontemporer pada zamannya. Ketiga, meskipun secara artistik permainan Rubinstein memperoleh sambutan yang hangat, berbagai surat kabar mengritik keras kondisi akustik auditorium dan instrumen yang ia gunakan selama tampil. Bataviaasch Nieuwsblad menyayangkan bahwa sepanjang penampilannya di Schouwburg (Gedung Kesenian Jakarta), “suara bising jalanan yang bocor hingga ke auditorium, tata lampu yang parah, piano yang tidak disetem dengan baik, serta kursi pianis yang reyot membuat sang maestro dan para penonton merasa deg-degan sepanjang acara.” Poin terakhir ini, ironisnya, merupakan refleksi kita bersama mengenai kondisi terkini Gedung Kesenian Jakarta– apakah telah ada peningkatan kualitas ataukah tetap sama seperti saat Rubinstein tampil di sana? Terlepas dari itu, rangkaian tur Rubinstein di pulau Jawa merupakan catatan sejarah tersendiri yang turut melengkapi kaleidoskop pementasan resital piano klasik Nusantara. Jika kelak Anda mempergelarkan sebuah resital di Gedung Kesenian Jakarta, Anda patut bangga pernah berbagi panggung yang sama dengan Arthur Rubinstein.

***

Aditya Setiadi

Musikolog, konsultan, dan kurator musik yang berdomisili di Jakarta. Penelitiannya mencakup New Musicology dan kajian musik pascakolonial. Ia menyelesaikan pendidikan magister musikologinya di King’s College London dan saat ini menjabat sebagai ketua Yayasan Rumah Musik Indonesia.

Artikel ini terbit juga di Newsletter IPTC Edisi I/2023: bit.ly/news-letter-vol1

Request More Information

Contact Us

Have all your questions answered — by phone or email.

Our Newsletter

Get the latest from Steinway & Sons Indonesia.

Stay In Touch